ETIKA
jurnalistik merupakan masalah penting dalam situasi Indonesia saat ini di
mana kebebasan pers begitu besar. Dengan kebebasan yang dimiliki kini pers di
Indonesia bisa meliput dan memberitakan apapun yang dianggap mempunyai
nilai berita tanpa khawatir ada pembreidelan sebagaimana terjadi pada masa Orde
Baru. Kondisi seperti ini di satu sisi sangat baik bagi pengembangan iklim
demokrasi di tanah air. Di sisi lain kalau tidak berhati-hati pers dengan
kebebasannya bisa terjebak menjadi sekadar institusi bisnis yang misi utamanya
tak lain dari semata-mata mencari keuntungan, mengingat pers dewasa ini telah
menjadi industri.
Di
bawah rezim politik otoritarian tantangan utama pers adalah kontrol negara yang
sangat ketat yang mengakibatkan pers cenderung menjadi sarana legitimasi
kepentingan penguasa. Media menjadi apa yang disebut oleh Althusser sebagai ideological
states apparatus. Isi media dengan demikian bersifat distorsif demi
mendukung kepentingan penguasa sehingga kepentingan publik terabaikan dan
bahkan tertindas.
Kini
ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan
utama media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri
dewasa ini sangat rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik.
Lebih-lebih mengingat persaingan antar lembaga pers/media yang begitu ketat
sehingga masing-masing lembaga media/pers berusaha menarik audiens dengan
berbagai cara. Independensi lembaga pers dan idealisme jurnalis kini
benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik mampu menangkal
kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?
Mengenai
soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu
soal kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan
kepemilikan media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana
lembaga-lembaga media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini
merupakan satu tantangan tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan
pluralitas media yang menjamin penyebaran infromasi secara lebih demokratis.
***
Selain
menyangkut aspek kelembagaan khususnya bagaimana menjaga independensi lembaga
pers, etika jurnalitik mengait persoalan-persoalan teknis yang cukup rumit.
Kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dalam
membangun acuan etik pekerjaan jurnalistik. Berkembangnya teknologi fotografi
digital yang mampu memanipulasi hasil jepretan kamera, misalnya, sangat rawan
disalah-gunakan. Demikian pula teknologi editing gambar video secara digital
sangat dimungkinkan guna melakukan berbagai manipulasi gambar untuk berbagai
tujuan. Teknologi kamera digital dengan berbagai fungsi, bentuk dan ukurannya
dewasa ini juga sangat rawan disalahgunakan dalam kerja jurnalistik. Di sinilah
masalah etika jurnalistik sangat dirasakan urgensinya. Beberapa pertanyaan bisa
diajukan di sini misalnya, apakah penggunaan hidden camera (kamera
tersembunyi) sesuai etika jurnalistik? Kapan kamera tersembunyi boleh
digunakan? Untuk tujuan apa?
Pers/media
audio visual (televisi) mempunyai problem teknis jauh lebih kompleks dibanding
pers cetak ataupun radio. Karena televisi berurusan dengan gambar/visual,
audio, sekaligus teks. Etika jurnalistik bagi jurnalis televisi karenanya juga
lebih kompleks dibanding jurnalis media cetak dan radio. Siaran langsung (live)
dari lokasi kejadian merupakan salah satu titik rawan bagi jurnalis televisi
menyangkut soal etik. Karena kesalahan dalam siaran langsung bisa terjadi
secara spontan dan tak terduga.
Perkembangan
teknologi sebenarnya bisa sangat membantu menegakkan etika jurnalistik sejauh
para jurnalis menyadarinya dan berniat menjalankannya. Teknologi digital video
editing misalnya berguna untuk menyamarkan narasumber baik secara visual maupun
audio. Juga untuk mengurangi efek dramatis suatu keadaan misalnya dalam kasus
kecelakaan yang berdarah-darah. Masalahnya kembali pada niat media dan
jurnalis yang bersangkutan tentang apa yang hendak dicapai dengan berita yang
mereka buat.
***
Persoalan
yang lebih mendasar dalam etika jurnalistik yaitu menyangkut konten atau isi
berita. Isu yang sering mengemuka menyangkut isi berita yaitu masalah
keberimbangan (cover both sides). Dalam kode etik jurnalistik yang kita
kenal di Indonesia keberimbangan berita sangat ditekankan. Maka menjadi
kewajiban bagi jurnalis di Indonesia untuk selalu mengingat hal ini.
Pelanggaran terhadap aspek ini bukan hanya bisa merugikan pihak-pihak yang
terkait langsung dalam pemberitaan, namun juga masyarakat atau publik yang
dengan demikian tidak bisa mendapatkan informasi secara utuh, sehingga bisa
timbul salah persepsi terhadap isi berita.
Kode
etik jurnalistik di tanah air juga menyediakan mekanisme pemberian hak jawab
bagi pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Namun seringkali
pihak-pihak tertentu merasa tidak puas dengan penggunaan hak jawab mereka
memilih langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. Kenyataan ini mau tidak mau
harus dihadapi pers dan para jurnalis. Bagaimana mengatasi masalah-masalah
seperti ini? Jawabnya kembali ke lembaga pers dan masing-masing jurnalis yakni
bagaimana mereka bisa bekerja secara profesional. Profesionalitas jurnalis
antara lain bisa dilihat dari kemampuannya menguasai masalah, kecakapan
teknisnya, keberaniannya untuk menyuguhkan fakta yang sebenarnya dan sikap
serta tindakannya yang senantiasa mengedepankan moral dan etika.
Kode
etik jurnalistik merupakan faktor penting yang akan membantu pembentukan
sikap profesional jurnalis. Namun Kode Etik Jurnalistik saja sebenarnya belum
cukup. Di beberapa lembaga media ada satu perangkat lain yang digunakan untuk
membantu meneguhkan sikap profesional jurnalis yaitu Kode Perilaku (Code of
Conduct). Kode perilaku biasanya dibuat di masing-masing lembaga media yang
mengatur perilaku para jurnalis karyawan lembaga media bersangkutan. Misalnya
menyangkut hubungan jurnalis dengan narasumber, masalah amplop, plagiarisme
dll. Karena dibuat oleh lembaga media yang bersangkutan Kode Perilaku bisa
lebih efektif menuntun tindakan para jurnalis karena disertai sanksi yang
jelas. Sebagai pengawal pelaksanaan Kode Perilaku adalah lembaga Ombudsman.
Di
luar ketentuan yang dibentuk lembaga-lembaga pers dan organisasi profesi
kewartawanan sendiri, pers memerlukan kontrol langsung dari publik yaitu media
watch. Di beberapa negara lembaga-lembaga media watch cukup
berkembang dan disegani sehingga bisa membantu mengontrol isi dan perilaku
media, sekaligus memberi panduan bagi audiens dalam memilih media mana yang
bermanfaat bagi mereka. Bagaimana di Indonesia? Tampaknya semua ini masih
menjadi PR kita semua yang menghendaki kehidupan pers yang sehat di tanah air.
______________________
Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana
Sosiologi Universitas Indonesia.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar