Kamis, 31 Januari 2013

Etika Jurnalistik di Era Kebebasan Pers



ETIKA jurnalistik merupakan masalah penting dalam situasi Indonesia saat ini di mana kebebasan pers begitu besar. Dengan kebebasan yang dimiliki kini pers di Indonesia  bisa meliput dan memberitakan apapun yang dianggap mempunyai nilai berita tanpa khawatir ada pembreidelan sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Kondisi seperti ini di satu sisi sangat baik bagi pengembangan iklim demokrasi di tanah air. Di sisi lain kalau tidak berhati-hati pers dengan kebebasannya bisa terjebak menjadi sekadar institusi bisnis yang misi utamanya tak lain dari semata-mata mencari keuntungan, mengingat pers dewasa ini telah menjadi industri.
Di bawah rezim politik otoritarian tantangan utama pers adalah kontrol negara yang sangat ketat yang mengakibatkan pers cenderung menjadi sarana legitimasi kepentingan penguasa. Media menjadi apa yang disebut oleh Althusser sebagai ideological states apparatus. Isi media dengan demikian bersifat distorsif demi mendukung kepentingan penguasa sehingga kepentingan publik terabaikan dan bahkan tertindas.
Kini ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan utama media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri dewasa ini sangat rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik. Lebih-lebih mengingat persaingan antar lembaga pers/media yang begitu ketat sehingga masing-masing lembaga media/pers berusaha menarik audiens dengan berbagai cara. Independensi lembaga pers dan idealisme jurnalis kini benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik mampu menangkal kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?
Mengenai soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu soal kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan kepemilikan media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana lembaga-lembaga media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini merupakan satu tantangan tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan pluralitas media yang menjamin penyebaran infromasi secara lebih demokratis.
                                                       ***
 Selain menyangkut aspek kelembagaan khususnya bagaimana menjaga independensi lembaga pers, etika jurnalitik mengait persoalan-persoalan teknis yang cukup rumit. Kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dalam membangun acuan etik pekerjaan jurnalistik. Berkembangnya teknologi fotografi digital yang mampu memanipulasi hasil jepretan kamera, misalnya, sangat rawan disalah-gunakan. Demikian pula teknologi editing gambar video secara digital sangat dimungkinkan guna melakukan berbagai manipulasi gambar untuk berbagai tujuan. Teknologi kamera digital dengan berbagai fungsi, bentuk dan ukurannya dewasa ini juga sangat rawan disalahgunakan dalam kerja jurnalistik. Di sinilah masalah etika jurnalistik sangat dirasakan urgensinya. Beberapa pertanyaan bisa diajukan di sini misalnya, apakah penggunaan hidden camera (kamera tersembunyi) sesuai etika jurnalistik? Kapan kamera tersembunyi boleh digunakan? Untuk tujuan apa?
Pers/media audio visual (televisi) mempunyai problem teknis jauh lebih kompleks dibanding pers cetak ataupun radio. Karena televisi berurusan dengan gambar/visual, audio, sekaligus teks. Etika jurnalistik bagi jurnalis televisi karenanya juga lebih kompleks dibanding jurnalis media cetak dan radio. Siaran langsung (live) dari lokasi kejadian merupakan salah satu titik rawan bagi jurnalis televisi menyangkut soal etik. Karena kesalahan dalam siaran langsung bisa terjadi secara spontan dan tak terduga.
 Perkembangan teknologi sebenarnya bisa sangat membantu menegakkan etika jurnalistik sejauh para jurnalis menyadarinya dan berniat menjalankannya. Teknologi digital video editing misalnya berguna untuk menyamarkan narasumber baik secara visual maupun audio. Juga untuk mengurangi efek dramatis suatu keadaan misalnya dalam kasus kecelakaan  yang berdarah-darah. Masalahnya kembali pada niat media dan jurnalis yang bersangkutan tentang apa yang hendak dicapai dengan berita yang mereka buat.
                                                    ***
Persoalan yang lebih mendasar dalam etika jurnalistik yaitu menyangkut konten atau isi berita. Isu yang sering mengemuka menyangkut isi berita yaitu masalah keberimbangan (cover both sides). Dalam kode etik jurnalistik yang kita kenal di Indonesia keberimbangan berita sangat ditekankan. Maka menjadi kewajiban bagi jurnalis di Indonesia untuk selalu mengingat hal ini. Pelanggaran terhadap aspek ini bukan hanya bisa merugikan pihak-pihak yang terkait langsung dalam pemberitaan, namun juga masyarakat atau publik yang dengan demikian tidak bisa mendapatkan informasi secara utuh, sehingga bisa timbul salah persepsi terhadap isi berita.
Kode etik jurnalistik di tanah air juga menyediakan mekanisme pemberian hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Namun seringkali pihak-pihak tertentu merasa tidak puas dengan penggunaan hak jawab mereka memilih langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. Kenyataan ini mau tidak mau harus dihadapi pers dan para jurnalis. Bagaimana mengatasi masalah-masalah seperti ini? Jawabnya kembali ke lembaga pers dan masing-masing jurnalis yakni bagaimana mereka bisa bekerja secara profesional. Profesionalitas jurnalis antara lain bisa dilihat dari kemampuannya menguasai masalah, kecakapan teknisnya, keberaniannya untuk menyuguhkan fakta yang sebenarnya dan sikap serta tindakannya yang senantiasa mengedepankan moral dan etika.
Kode etik jurnalistik  merupakan faktor penting yang akan membantu pembentukan sikap profesional jurnalis. Namun Kode Etik Jurnalistik saja sebenarnya belum cukup. Di beberapa lembaga media ada satu perangkat lain yang digunakan untuk membantu meneguhkan sikap profesional jurnalis yaitu Kode Perilaku (Code of Conduct). Kode perilaku biasanya dibuat di masing-masing lembaga media yang mengatur perilaku para jurnalis karyawan lembaga media bersangkutan. Misalnya menyangkut hubungan jurnalis dengan narasumber, masalah amplop, plagiarisme dll. Karena dibuat oleh lembaga media yang bersangkutan Kode Perilaku bisa lebih efektif menuntun tindakan para jurnalis karena disertai sanksi yang jelas. Sebagai pengawal pelaksanaan Kode Perilaku adalah lembaga Ombudsman.
Di luar ketentuan yang dibentuk lembaga-lembaga pers dan organisasi profesi kewartawanan sendiri, pers memerlukan kontrol langsung dari publik yaitu media watch. Di beberapa negara lembaga-lembaga media watch cukup berkembang dan disegani sehingga bisa membantu mengontrol isi dan perilaku media, sekaligus memberi panduan bagi audiens dalam memilih media mana yang bermanfaat bagi mereka. Bagaimana di Indonesia? Tampaknya semua ini masih menjadi PR kita semua yang menghendaki kehidupan pers yang sehat di tanah air.
______________________
Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar