Profesi dan Etika
Sebelum
kita bicara tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika
profesi. Hal ini karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli
hukum, adalah sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu
profesi dengan jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's New Dictionary and Thesaurus
(1990) adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan pengetahuan khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang
intensif dan lama. Seorang dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek
membutuhkan pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus
latihan, cukup lama dan intensif.
Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang
ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki
keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup
lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi
dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan
keterampilan atau pengetahuan khusus.
Huntington menambahkan, profesi bukanlah
sekadar pekerjaan atau vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki
ciri-ciri:
1. Keahlian (expertise)
2. Tanggungjawab (responsibility)
3. Kesejawatan (corporateness)
Sedangkan
etika (ethics) adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu
prinsip-prinsip moral, atau suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan
demikian secara kasar bisa dikatakan, etika profesi adalah semacam standar
aturan perilaku dan moral, yang mengikat profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral,
yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik
ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar
kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau
menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari
tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
Perumus Kode Etik
Lalu siapa yang berhak merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini?
Kode Etik biasanya dirumuskan oleh organisasi profesi bersangkutan, dan Kode
Etik itu bersifat mengikat terhadap para anggota organisasi.
Misalnya: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) membuat Kode Etik
Kedokteran yang mengikat para dokter anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan
Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di
Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebagai salah satu organisasi
profesi jurnalis, telah merumuskan Kode Etik sendiri.
AJI bersama sejumlah organisasi jurnalis lain secara
bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik Jurnalis Indonesia, yang diharapkan
bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis Indonesia.Selain organisasi profesi,
institusi media tempat si jurnalis itu bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik
dan aturan perilaku (Code of Conduct) bagi para jurnalisnya.
Harian Media Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua
hal tersebut. Isinya cukup lengkap, sampai ke soal "amplop", praktek
pemberian uang dari sumber berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk
terhadap profesi jurnalis karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh organisasi profesi atau institusi media
yang berbeda-beda, di Indonesia atau pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik
pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda.
Tentu saja tidak akan ada Kode Etik yang membolehkan
jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, misalnya. Variasi
kecil yang ada mungkin saja disebabkan perbedaan latar belakang budaya
negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang lebih jelas, sebagai contoh di
sini disajikan Kode Etik AJI.
Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
1.
Jurnalis
menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Jurnalis
senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam
peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.
Jurnalis
memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.
4.
Jurnalis
hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.
Jurnalis
tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.
Jurnalis
menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7.
Jurnalis
menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the
record, dan embargo.
8.
Jurnalis
segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.
Jurnalis
menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan
seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian,
prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa,
jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit
jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi
seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita
dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi
dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan
pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur
tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan
kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Majelis Kode Etik
Anggota
Majelis ini dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota
Majelis ini ditentukan oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak
dapat melaksanakan tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut
ditetapkan oleh Majelis dengan persetujuan pengurus AJI Indonesia.
Tugas Majelis Kode Etik, antara lain:
1.
Melakukan
pengawasan dalam pelaksanaan Kode Etik
2.
Melakukan
pemeriksaan dan penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik
oleh anggota AJI.
3.
Mengumpulkan
dan meneliti bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
4.
Memanggil
anggota yang dianggap telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
5.
Memberikan
putusan benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
6.
Meminta
pengurus AJI untuk menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7.
Memberikan
usul, masukan dan pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode Etik.
Dewan Pers
Selain
Majelis Kode Etik dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk
anggota AJI, di tingkat nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah
satu fungsinya adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik.
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk pada 19
April 2000, berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 40 Tahun 1999, dalam upaya
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Anggota Dewan Pers terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang
mewakili unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang
ahli di bidang pers.Selain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik,
Dewan Pers berfungsi memberi pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers.Dewan Pers juga memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam
menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan.
Sedangkan tugas Dewan Pers adalah:
1.
Memberikan
pernyataan penilaian dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode
Etik, penyalahgunaan profesi, dan kemerdekaan pers.
2.
Keputusan
Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
3.
Keputusan
atau rekomendasi Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan
Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode
etik atau pemimpin redaksi media massa bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan
Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh
pemberitaan pers tetap terbuka untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan),
yang keputusannya memiliki kekuatan hukum. Seperti sudah diutarakan di atas,
keputusan Dewan Pers bersifat mendidik dan non-legalistik.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar