KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,
atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada kita. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan
kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya,
serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Kami penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil
menyelesaikan makalah “Sistem
Komunikasi Indonesia” tentang “Teori
pers yang dianut oleh Negara Indonesia”. Dan makalah ini kami ajukan sebagai tugas untuk
melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
Semoga dengan tersusunnya
makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana perkembangan teori pers yang
dianut oleh Negara Ondonesiia yang disertai dengan kasus yang akan dibahas
dimana sesuai dengan teori pers yang akan dibahas.
Kami menyadari bahwa penulisan
dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya
masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.
Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat
ridho Allah SWT. Amin.
Samarinda, 03 Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………………… ii
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………………………………………………………. iii
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………… 1
A.
Latarbelakang
…………………………………………………………………………………………………………. 1
B.
RumusanMasalah
…………………………………………………………………………………………………….. 1
C.
Tujuan
……………………………………………………………………………………………………………………… 1
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………………… 2
A.
Sejarah Pers ………………………........................................................................................................................ 2
B.
Fungsi dan
Peranan Pers ………..................................................................................................................... 4
C.
Perkembangan
Pers yang Dianut oleh Indonesia
................................................................................ 5
BAB III
PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………………… 9
Kesimpulan
…………………………………………………………………………………………………………………. 9
Saran
…………………………………………………………………………………………………………………………… 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga
kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada
bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara
mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada
dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi
bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu
hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai
fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan
bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial
politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem
pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang
harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk
melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang
harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat
manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara,
hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada sistem
pers adalah perbedaan filsafat.
Pers sebagai sebuah keran untuk
menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu sudah pasti tentunya harus
mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam mewujudkannya setiap negara
pastilah memiliki latar belakang dan cita-cita yang berbeda, ini pulalah yang
setidaknya berdampak pada differensiasi pedoman dan aktualisasi peran negara
dalam menjamin terus berjalannya sistem – pers yang dipergunakan. Untuk hal
yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negara-negara
lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia
“sekali lagi” mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers
yang dianutnya. Seolah terlihat begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah pers?
2.
Bagaimana
fungsi dan peranan pers di Indonesia?
3.
Bagaimana
perkembangan dari sistem pers yang dianut oleh Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui
sejarah pers
2. Mengetahui fungsi dan peranan
pers di Indonesia
3. Mengetahui perkembangan dari sistem
pers yang dianut oleh Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pers
Pers di Indonesia mulai
berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah
dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18,
orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia.
Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari
orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke
19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan
bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana
Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles
(Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817),
Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat
kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa
Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada
tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret
Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani
(Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa
penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat menggugah
cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai
sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya,
terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai
terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan
kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan,
atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo
pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk
menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada
gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah
surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika,
Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean
Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan
kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari
perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan
sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966,
kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan
kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers,
sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet)
dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah
berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan
pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara
liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak
ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di
atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 –
1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959.
ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan
bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers,
danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah
terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa
demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9
Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila,
tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD
1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan
undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena
kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama
akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya
dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh
konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak
kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai
sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan
perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan
Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan
nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah.
Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun
1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU
no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan
kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang
bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori
pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap
konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak
surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku
(Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami
sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi,
budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang
melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak
kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen
pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang
berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya,
juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga
terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari,
Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998,
lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini,
melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti
peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40
tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia
mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori
pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no
21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem
pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda
itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999
sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di
Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum
berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers
terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan
profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan
pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping
menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga
diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya.
Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa
ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun
koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya
untuk menggugat ke pengadilan.
B.
Fungsi
dan Peranan Pers
Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas
dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua
media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi
memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan
seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah
jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian
sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah
bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999
Pasal 3 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun
fungsi pers nasional adalah sebagai berikut :
a.
Sebagai wahana
komunikasi massa. Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara,
warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
b.
Sebagai
penyebar informasi. Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari
pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari
warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
c.
Sebagai
pembentuk opini. Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers
dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita
yang disebarkan lewat pers.
d.
Sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi.
Fungsi pers sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol sosial :
·
Fungsi
informasi, masyarakat berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan
informasi mengenai berbagai hal.
·
Fungsi
pendidikan, pers sebagai sarana pendidikan massa (mass education), memuat
tulisan tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah
pengetahuan dan wawasannnya.
·
Fungsi
menghibur, hal yang bersifat menghibur sering di muat pers untuk mengimbangi
berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot.
·
Fungsi kontrol
sosial, terkandung dalam makna demokratis yang didalmnya terdapat unsur sosial
participation, sosial responcibility, sosial support, sosial control.
Pers nasional sesuai dengan pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999,
menyebutkan peranan pers sebagai berikut:
a.
memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui
b.
menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi
manusia, saling menghormati kebhinekaan
c.
mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
d.
melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum
e.
memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
C. Perkembangan Pers yang Dianut oleh
Indonesia
Perubahan
membawa warna baru dan paradigma baru dalam pers. Perubahan dari
beralihnya kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang berkuasa selama 32
tahun, membuat Pers “Terbelenggu” seakan-akan Tangan diborgol, Kaki diikat dan
mulut disumpal. Pers dibuat tak berkutik selama Soeharto memegang sistem
pemerintahan. Pembredelan menjadi satu hal yang menakutkan. Harian Sinar
Harapan jadi korban, akibat lebih awal memberitakan kebijakan pemerintah di
sector industry. (PERS AUTHORITARIAN)
Harian
Merdeka yang memberitakan “Pangdam III Siliwangi Akan Buka Seminar Porkas”
hasil wawancara dengan” Srigala Jawa Barat”, Djadja Subagja Husein almarhum,
masih untung tidak dibinasakan oleh Komkaptib waktu itu. Tapi koresponden media
cetak politik dan olahraga paling popular ketika itu Erry Budianto di Bandung
Jawa Barat, dipaksa untuk menerima sanksi skorsing tiga bulan yang
“menyakitkan”. (KASUS PERS AUTHORITARIAN)
Masih
banyak lagi contoh kasus yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh penguasa di
jaman Orde Baru (Orba) ketika itu. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
menjadi hal yang biasa dan dianggap “lumrah” waktu itu. Mungkin lebih baik
kondisinya disaat Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI di
jaman Orde Lama (Orla). Kebebasan Pers masih ada meskipun sedikit daripada
tidak ada sama sekali di era almarhum Jenderal Besar TNI Soeharto
berkuasa.
Kebebasan
pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerintahan sedang
mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada
sama sekali. Hal ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer
yang mengalami enam kali pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde
Baru saat terjadi kekacauan dan perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era
krisis pemerintahan ini pers Indonesia cenderung menganut paham Libertarian.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang ditandatangani Presiden RI
BJ.Habibie, memberikan “Nafas Kemerdekaan” yang luar biasa bagi insan Pers
Indonesia dari Nangroe Aceh Darussalam sampai ke Papua. (PERS LIBERTARIAN)
Pertimbangan
lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 ini antara lain kemerdekaan pers merupakan
salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.(alinea a UU Pers
No.40/1999).
Pertimbangan
lainnya pada alinea b menyebutkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai
dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia
yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
memajukan kesejahteran umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada
alinea c dikemukakan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa,
penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,
hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan
pers yang professional. Sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan
hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
Alinea
d merupakan pertimbangan yang sangat penting atas kebebasan pers dewasa ini.
Pada bagian ini ditegaskan, pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perlu
dirumuskan istilah bertanggung jawab, yaitu semua tindakan pembatasan terhadap
pers yng didasari prinsip tanggungjawab sosial pers harus berlandaskan
peraturan hukum yang dibuat secara demokratis.
Sistem
tanggungjawab sosial didasari pemikiran bahwa kebebasan pers harus memikul kewjiban
secara beriringan dan pers bertanggungjawab pada masyarakat dalam melaksanakan
fungsinya.
Tahun
1947 sekelompok filsuf, ilmuwan, akademisi, tokoh budaya, agama dan pendidikan
membentuk The Hutchins Commision on
Freedom of The Press. Mereka menyeru agar pers dibebani kewajiban untuk fair, responsible, dan accurate. Mereka mengharapakn munculnya ekspresi yang
bertanggungjawab di media setelah perang dunia kedua berakhir (Syah, 1999). Seruan
ini dicatat sebagai tonggak awal lahirnya sistem tanggung jawab sosial pers,
ditandai antara lain munculnya beragam kode etik pers, baik atas inisiatif
pekerja pers sendiri maupun dari kelompok-kelompok independen dalam masyarakat.
Pada
saat itu Indonesia resmi
menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke
teori "pers tanggung jawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah
bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka
pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi
penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers
harus bertanggungjawab pada pemerintah. (PERS TANGGUNGJAWAB SOSIAL)
Istilah Pers
Pancasila pertama kali dikemukakan oleh M. Wonohito, seorang wartawan senior
kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang
Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984. Dalam pembahasannya
nonohiti menyinggung disamping empat teori pers, bolehlah ditambahkan satu sistem
yaitu pancasila pers theory sebab falsafah pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam 4 teori
pers itu sendiri.
Dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta, Dewan pers memutuskan mengenai pers Indonesia adalah pers
pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan
UUD 45. Pers
pembangunan adalah pers pancasila dalam arti
mengamalkan pancasila dan UUD 45 dalam pembagunan berbagai aspek kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan
bernegara, termasuk pembangunan pers
itu sendiri.
Hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni yang pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol
sosial kontruktif. Pers Pancasila selalu mengedepankan keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan dalam pemberitaan, sehingga tercipat keharmonisan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pada gilirannya akan terwujud
masyarakat madani Indonesia. (PERS
PENCASILA).
Pengaruh
pers luar biasa sekali, bisa menghitam-putihkan publik figure, kelompok,
politikus, pengusaha dan birokrat. Karena itu munculnya Jurnalis Kotor yang
terkontaminasi pengaruh kehidupan yang serba materialistis saat ini tidak
bisa dihindari. Seiring dengan munculnya Polisi Kotor, Jaksa Kotor, Hakim
Kotor, Pengacara Kotor, Birokrat Kotor, Legislatif Kotor, Politikus
Kotor, Pengusaha Kotor, LSM Kotor dan sebagainya.
Pers
Pancasila yang idealis dan professional, kini nampaknya sudah tidak menarik
lagi. Sebab seiring dengan masuknya paham asing, maka “dunia pers kapitalis”
yang rakus, tamak, kejam dan tak memiliki hati nurani sedang mewarnai kehidupan
pers nasional saat ini. Kini Dunia Pers sudah menjadi “industry”
yang memiliki modal kuat itulah yang menang. (PERS KAPITALIS)
Padahal
pengertian Pancasila yang diambil dari bahasa Sansekerta berarti Lima Dasar
atau lima sendi, sangat bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maksudnya Dasar Negara RI adalah Lima Sendi pokok sebagai yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.
Sistematika
Falsafah Bangsa Indonesia ini jika kita simak secara mendalam,” Tak lekang
karena perubahan jaman” dan masih relevan untuk era Globalisasi dewasa
ini menuju dunia “tanpa batas”. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ke dua,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradad. Ke tiga, Persatuan Indonesia. Ke empat,
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/
Perwakilan. Dan ke lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jika
kita simak dari isi Bab I Pasal 1 ayat 1 UU Pers Nomor 40/1999, maka dijelaskan
bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang
tersedia.
Artinya,
pers nasional di era sejagat ini memperoleh kebebasan luar biasa dalam
menjalankan profesinya di negeri Pancasila ini ? Atau di Negara
yang sudah menganut paham Neo Liberalisme ini ?
Pada
Pasal 1 ayat 2 Bab I tertulis pula bahwa perusahaan pers adalah badan hukum
Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak,
media elektronik dan kantor berita serta perusahaan media lainnya yang secara
khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.
Lahirnya
UU Pers Nomor 40/1999 ini memberikan “Napas Kebebasan” yang sangat hakiki dan
manusiawi kepada insan pers di tanah air. Maka bermunculan media-media cetak
dalam bentuk mingguan, tabloid, majalah bulanan, media radio, televise, media
online. Bahkan sejumlah orang yang memiliki kelebihan materi dalam hal keuangan
seperti Kelompok Bakrie, Lippo Gorup, RCTI Group/MNCTV Group, Jawa Pos
Gorup, Kompas Group, Media Indonesia Group, meramaikan kebebasan pers ini
dengan “Nuansa kapitalis” yang sangat kental.
Abu
Rizal Bakrie atau yang akrab disapa Ical yang juga Ketua Umum Partai Golkar
selain memiliki Stasiun TV Swasta juga mengelola Harian Sore Surabaya Post,
Harian Nusa (Nusa Tenggara) dan sejumlah Koran harian di Jakarta. Gak mau
ketinggalan, Harry Tanoe Soedibyo Bos MNCTV dan RCTI, memasarkan Koran Seputar
Indonesia (Sindo) edisi nasional dan edisi Jawa Barat serta edisi lainnya.
Begitu juga Lippo Group, meluncurkan sejumlah media cetak bisnis ekonomi.
Jangan
ditanya Dahlan Iskan Bos Jawa Pos Group yang kini ketiban rejeki sebagai
Menteri BUMN meramaikan negeri ini dengan media cetak dengan nama Radar
Bandung,Radar Bogor, Radar Denpasar, Radar Medan dan hampir setiap kota
didirikan Koran Radar. Tidak puas dengan versi radar, mantan Dirut PLN ini juga
meluncurkan Koran dengan nama Ekspres seperti Sumedang Ekspres, Bandung
Ekspres yang ingin mentransfer sukses Sumatera Ekspress (Sumex) yang terbit di
Palembang.
Yang
menarik, penulis otobiografi Bos Bank NISP Karmaga Suryaudaya ini juga
melakukan kerjasama dengan Koran-koran daerah. Misalnya Harian Fajar di Makasar dan beredar luas di
Sulsel. Selain itu konsep kerjasama versi Jawa Pos Group ini juga menembus
Jakarta dengan kerjasama bersama BM Diah almarhum memanage Harian Merdeka.
Kerjasama
ini selain merekrut seluruh wartawan Merdeka, karyawan percetakan sampai
Satpam. Tapi, entah bagaimana, join ini putus dan Dahlan Iskan menerbitkan
Koran Rakyat Merdeka yang nampaknya menjadi bacaan wajib para politikus di
negeri ini. Nasib SIUP Harian Merdeka sendiri, tidak diketahui berada ditangan
siapa saat ini setelah munculnya kasus Antasari Azhar yang menghebohkan upaya
pemberantasan korupsi di Negara yang terkenal korup ini.
Bahkan
PT.Telkom Tbk yang gencar-gencarnya melakukan transformasi Bisnis TIME
untuk mendongkrak pendapatan BUMN “Merah Putih” Telkom juga memiliki
Majalah Bulanan “KILAU” yang bekerjasama dengan pihak ke tiga dan memasang
alamat Kebayoran Center Blok A11 – A15, Kebayoran Baru, Mayestik Jakarta
Selatan.
Jakob
Utama Bos Kompas Group, juga tidak mau ketinggalan menyemarakkan kebebasan pers
saat ini dengan membuat Koran-koran daerah dengan label Tribun seperti
Tribun Jambi, Tribun Jabar, Tribun Jatim, Tribun Sumut, Tribun Jateng dsb.
Bahkan setelah melepas TV7 ke TransTV dan mendirikan KompasTV. Kompas
Group yang memiliki berbagai network usaha seperti media online,
hotel, penginapan, penerbitan dan toko-toko buku ini sangat jeli melihat
peluang bisnis di negeri ini.
Media
Indonesia Gorup selain memiliki Stasiun TV Berita ternama Metro TV juga
mempunyai Harian Lampung Pos. Sementara Bisnis Indonesia, nampaknya masih
“mengerem” dengan hanya punya Koran daerah Solo Pos.
Raja-Raja
Duit yang identik sebagai Raja-Raja Media ini membuat Munas SPS di Bali
bukan mengedepankan upaya “pembinaan” pers kecil di pusat (Jakarta)
maupun di daerah, tapi secara sadar atau tidak sadar telah melakukan “pembinasaan”
media-media kecil yang seharusnya dibina di Negara yang memiliki falsafah
Pancasila ini. Pertemuan di Bali itu terkesan hanya membahas bagaimana
mencetak pendapatan dari “kue iklan” yang fantastis di kemudian hari.
Sementara
Koran-koran kecil terpaksa mengikutsertakan jurnalisnya untuk ikut
memasarkan korannya agar tetap bisa terbit lagi esoknya. Maka, tidaklah aneh
jika setiap sekolah di Kabupaten Bandung Jawa Barat, terpaksa berlangganan
Koran sampai 17 penerbitan. Baik itu Koran harian, mingguan dan tabloid. Salah
siapa?
Kasus
sekolah berlangganan media cetak sampai belasan itu tentunya tidak sehat lagi
dan sangat ironis di saat kebebasan pers datang dengan lahirnya Undang Undang
Pers Nomor 40 Tahun 1999, memunculkan “raja-raja media” yang jelas-jelas
menganut sistem kapitalis untuk mengembangkan jaringan usahanya. (KASUS PERS
KAPITALIS)
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan :
Pendapat
yang mengemukakan bahwa “sistem media di satu negara, mencerminkan sistem
pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan” terbukti berlaku pula di
Indonesia. Sistem pemerintah yang mengalami beberapa kali perubahan, amat
berpengaruh terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan
pers yang demikian besar tersebut sering kali kebablasan. Sehingga menimbulkan
berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers, seperti pelaggaran asas
praduga tak bersalah, pencemaran nama baik. Dengan demikian beberapa media
hanya mencari berita yang sensasional, bahkan tidak jarang kita sering lihat
berita gosip seputar keluarga artis, dan bahkan juga ada media yang
mengeksploitasi berita kekerasan dan pornografi.
Kebebasan
berpendapat memang sudah diatur di UU pers tapi dalam sebuah kebebasan alangkah
baiknya kita selipkan etika-etika untuk mengawal pers agar tetap pada norma dan
UU pers yang sudah ditetapkan. Dengan demikian kemerdekaan pers memang
merupakan sarana pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Namun para pekerja pers perlu menyadari adanya tanggung
jawab sosial yang tercermin melalui pelaksana kode etik profesi secara jujur
dan bertanggung jawab.
Saran :
Nampaknya
dengan begitu mudah dan gampangnya, sistem Kapitalis merasuk dunia
pers nasional di era sejagat ini adalah sangat bijak bilamana UU Pers Nomor 40
Tahun 1999 direvisi agar tidak “kebablasan” reformasi yang melanda negeri kita
ini. Misalnya, memasukkan unsur lain seperti pembatasan penerbitan media massa
pada Bab IV Pasal 9 Perusahaan Pers di mana disebutkan Setiap warga
Negara Indonesia dan Negara berhak mendirikan perusahaan pers dan setiap
perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Agar
sila ke dua dari Pancasila dapat ikut “mengerem” nafsu “raja-raja media” itu
revisi UU Pers No.40/1999 perlu dijabarkan dan ditambahkan dalam UU ini yang
menggambarkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Begitu juga sila ke lima dari
Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebab sangat
menyesakkan melihat “mengguritanya” ketamakan, rakus dan kejamnya, raja-raja
media ini. Hilang sudah rasa kemanusiaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://surabayawebs.com/index.php/2012/05/31/selamat-tinggal-pers-pancasila-selamat-datang-pers-kapitalis-3/
(diakses tanggal 03
Oktober 2012)
http://media.kompasiana.com/new-media/2012/09/26/etika-kebebasan-pers-menurut-uu-pers/
(diakses tanggal 03
Oktober 2012)
Drs. Amir Effendi Siregar,
MA.2005. Kebebasan Pers & Kode Etik
Jurnalistik. Yogakarta. Uli Press
terimakasiih ya.. sangat.. sangat membantu sekali :-* :X
BalasHapus