KATA PENGANTAR
Pertama kami
panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya yang
telah diberikn kepad kita. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada
junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya, serta
pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Kami penyusun makalah, alhamdulillah telah
menyelesaikan makalah “Teori-teori Komunikasi” tentang “Teori
Dramaturgi”. Dan makalah ini
kami ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
Semoga dengan tersusunnya
makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana Teori
Dramaturgi tersebut.
Kami menyadari bahwa penulisan
dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya
masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.
Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat
ridho Allah SWT. Amin.
Samarinda, 27 Maret 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………………………………………………………………… ii
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………………………………………………………. iii
PEMBAHASAN
……………………………...…………………………………………………………………………………… 1
A.
Tujuan
Pembelajaran ..…………...................................................................................................................... 1
B.
Latar
Belakang Teori …………………………................................................................................................... 1
C.
Esensi Teori …………...……………….................................................................................................................. 3
PENUTUP
……………………………….………………………………………………………………………………………… 9
Kesimpulan
…………………………………………………………………………………………………………………. 9
PEMBAHASAN
A.
Tujuan Pembelajaran
Pembaca dapat menjelaskan prinsip dasar
Teori Dramaturgi dan aplikasinyaa dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya
terdapat dalam cerita berikut ini:
Lampu lalu lintas masih
berwarna kuning ketika Sofyan memacu sepeda motornya, melewati perempatan
jalan. Bunyi peluit polisi menghentikannya seketika. “Selamat siang Pak, bias
lihat surat-suratnya,” salam sapa khas polisi ketika hendak menilang pengendara
sepeda motor. Sofyan segera mengeluarkan SIM dan STNK. “Pak, ikut saya ke Pos
depan,” Polisi itu menunjuk ke pos polisi di ujung barat perempatan.
“Bapak tahu kan, lampu sudah
menyala merah?” Tanya polisi. “Lho, tadi masih kuning kok, Pak,” Sofyan mencoba
membela diri, tapi nampaknya sia-sia. “Saya lihat sendiri, Bapak melanggar!”
Sofyan kini pasrah. “OK, Bapak mau nitip denda, atau ikut sidang?” SOfyan tak
langsung menjawab, Nampak ekspresi bimbang di mukanya. “Saya ikut sidang aja
deh, Pal” jawab Sofyan akhirnya. Polisi itu tak berkata-kata lagi, segera
ditulisnya kartu tilang untuk Sofyan.
Orang hidup selalu berganti peran, sesuai dengan
panggung yang dihadapinya. Kisah di atas barangkali bagian dari panggung yang
pernah kita alami. Lihatlah peran seorang polisi itu. Pada awalny ia berperan
sebagai seorang penegak hokum, tapi tak lama kemudian (ketika di pos polisi)
dia berperan sebagai “pemeras”. Sofyan sebaliknya, di saat yang sulit, dia
mencoba berperan menjadi warga Negara yang baik, warga Negara yang taat hokum.
Teori Dramaturgi yang hendak kita bahas ini akan mengungkap sisi hisup manusia,
bahwa sejatinya kita hidup dari satu panggung ke panggung lainnya.
B.
Latar Belakang Teori
Erving
Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922. Mendapat gelar S1 dari
Univ. Toronto menerima gelar doctor dari Univ. Chicago. Beliau wafat pada tahun
1982 ketika sedang mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah
menjadi professor dijurusan sosiologi Univ. Calivornia Barkeley serta ketua
liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving Goffman, dianggap sebagai pemikir utama
terakhir Chicago asli (Travers, 1922: Tselon, 1992); Fine dan Manning (2000)
memandangnya sebagai sosiolog Amerika paling berpengaruh di abad 20. Antara
1950-an dan 1970-an Goofman menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan
analisis dragmatis sebagai cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman
mengalihkan perhatiannya di tahun-tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal
karena teori dramtugisnya.
Goffman
menyebut dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan
yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik
yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Personal front (penampilan diri ) yaitu
berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Personal front (penampilan diri ) masih
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari
berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor dan Gaya yang berarti mengenalkan
peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) / the
self yaitu semua
kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan
diri yang ada pada Front stage.
Karya-karya
Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George Herbert Mead yang memfokuskan
pandangannya pada The Self. Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori
dramaturgis berupa buku Presentation
of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1955. Secara ringkas dramaturgis
merupakan pandangan Goffmanyang menjelaskan mengenai proses dan maknsa dari apa
yang disebut sebagai interaksi (antar manusia) yaitu tentang kehidupan sosial
sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi
kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung
dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga
penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu
mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Kita dapat meliat kembali
contoh yang ada diatas, bagaimana seorang polisi memilih perannya, juga seorang
warga Negara biasa memilih sendiri peran yang diinginkan.
Lewat
imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang
penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan
sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn
menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat
(Littlejohn, 1996).
Setiap
interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan
sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat
sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan
ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan
individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.
Lalu bagaimanakah sebenarnya dengan “the self“ Mead tersebut ?
Bagi Mead,
“the self” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “the
self” juga merupakan
proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya
sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan
merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam
hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya
sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan
bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas
tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para
pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai
psikologi sosial. “the self” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada
satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan
tindakan-tindakan “the self.” (Wagiyo, 2004:107)
Dari
deskripsi diatas, Mead menegaskan bahwa the self merupakan makhluk hidup yang
dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya
menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead
merupakan isu sentral bagi interaksional simbolik.
Dramaturgi
itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksional
simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu
atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk
kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat
hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah
bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan
antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu
sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan
kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya
seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Pada
pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran
Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis
(sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut
Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari
sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu
sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan
kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan
semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back
region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita.
Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-konsep
sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan
Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun
pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah
pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.
C.
Esensi Teori
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self
in Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan
teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di
antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103).Maka
sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu
sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa
perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping
persektif-perspektif yang lain.
Interaksi
simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran
Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi
humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi
terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi
terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari
pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku
manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif,
inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara
dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih
ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa
konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui
adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan
struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh
Blumer.
Interaksionisme
simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan
masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang
bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang
dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang
selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
2. Berbagai arti
dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya
pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur
dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4. Tingkah laku
seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau
saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri
dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi
antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku
terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7. Kita tidak dapat
memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka.
Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula
secara pasti.
Dari sekian banyak ahli yang punya andil popular sebagai peletak dasar
interaksi simbolik adalah George Herbert Mead yang dikembangkan pada tahun
1920-1930. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer (1937)
sebagai mahasiswa Mead dengan menggunakan istilah interaksi simbolik. Esensi
interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme Durkhemian.
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme Durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik (Jones) adalah
penjabaran berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap
identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam
kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut “ketertiban interaksi”
(interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan produk interaksi
sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan
“keutuhan diri.” Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti
pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan
cara yang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004:106).
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan
apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan
bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa
pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke
melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan
pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku
yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung
makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat
melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau
menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi.
Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi
mereka, bahasapun membentuk perilaku.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia,
yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan
diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena
perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat
dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika
manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran
mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti
pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166).
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari
pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley
ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita
tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas
penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti
kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain
tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu
gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter
teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh
olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke,
dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme
simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis
interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi
yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk
memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor
berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus
dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi
lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang
tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi
spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative
manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi
sosial.Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan
mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam
kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam
konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang
mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas
sosial, makna dan definisi situasi
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut
upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu
teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi
sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan
peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya
sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu
serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan
asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor
harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri,
melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai
dengan situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah
depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan
merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau
menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung
sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk
kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di
wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front
stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung
sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara
bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di
panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi
(personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap
khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya
dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung
dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor.
Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur
tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga derajat
tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap
seperti ciri fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau
diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan menekankan atau
melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut yang beruban dengan cat
rambut. Sementar itu setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika
aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang
operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115)
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural
dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili
kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan
perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun
berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia
berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang
diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa bahwa
mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu
disebabkan oleh (Mulayan, 2004:116):
1.
Aktor
mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi (misalnya
meminum minuman keras sebelum pertunjukan).
2.
Aktor
mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunujkan,
langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut (misalnya
sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah).
3.
Aktor
mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses
memproduksinya (missal dosen menghabisakan waktu beberapa jam untuk memberi
kuliah, namun mereka bertindak seolah-olah telah lama memahami materi kuliah).
4.
Aktor mungkin perlu menyembunyikan
“kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja
kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang “secara fisik kotor, semi-legal, dan
menghinakan”)
5.
Dalam
melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain
(missal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga
pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2004:298).
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga
kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter
secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain
terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau
organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut “tim
pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan suatu aktivitas.
Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga
penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan
pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang
layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu
juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila
perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan
atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004:123)
Dalam perspektif Goffman unsur penting adalah pandangan bahwa interaksi
mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual, aspek-aspek
“remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan
bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal
ditempat umum.
Bagi Goffman, tampaknya hamper tidak ada isyarat nonverbal yang kosong
dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah lain,”
atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi
orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri
yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-tindakan
tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan
orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai
manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakn
serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut. Kehidupan manusia
tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritula kecil dalam
interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah kata
lain untuk ritual itu, yakni seperangkat penghargaan yang sama yang melandasi
apa yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi.
Goffman menegaskan
bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para
peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan
tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri
yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman
keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan
mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur
perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara
sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional,
yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada
orang lain yang juga hadir.
Untuk menunjukkan
bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli dengan tatakrama sebelum kita
melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar etiket tersebut. Misalnya
kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting. Ketika kita menyadarinya, kita
hamper selalu apa yang oleh Goffman disebut “berbagai tindakan perbaikan”
(remedial work of various kind) yang fungsinya mengubah hal yang opensif
menjadi hal yang diterima.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami
paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penyusun banyak berharap
para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun
demi sempurnanya makalah ini dan dan penyusunan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga
makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca pada
umumnya.
Kesimpulan :
Pada dasarnya, Teori Dramaturgis merupakan teori yang
mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Dimana
teori ini menggambarkan sebuah sandiwara saat seseorang ataupun sekelompok
orang tersebut berperan bukan berdasarkan kepribadiannya melainkan berdasarkan
kondisi yang ada dan memanfaatkan peranan yang ia miliki. Yang didukung oleh
front dan back region yang ada. Front nya mencakup setting, personal front
(penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri).
Sedangkan back nya mencakup semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi
keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan
teori interaksionisme simbolik. Dimana Mead menyatakan konsep bahwa individu
mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut
adalah “dirinya” yang berasal dari “aku”. Jadi dalam Darmaturgi, seseorang akan
berperan menjadi orang lain untuk mengetahui bagaimana penilaiannya terhadap
tokoh yang ia perankan.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Edi
dan Setiansah, Seti. 2010 “Teori
Komunikasi”. Yogyakarta: Graha Ilmu.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar